Rabu, 10 April 2024
Banyak pikiran berkecamuk, sejak terbangun dari tidur siangku. Napasku sesak, pikiranku banyak. Seakan tidak ada ruang kosong di kepalaku. Aku resah. Hingga aku ke luar, berkendara dan menghirup dalam-dalam udara jalanan. Udara sore hari dan udara malam hari usai hujan reda. Dingin tapi juga menyegarkan. Menyegarkan paru-paruku. Namun, dinginnya menusuk-nusuk kulitku. Aku memejamkan mataku, sesekali meneteskan air mata.
Saat langit mulai gelap dan hujan perlahan turun, aku memutarbalikan arah kendaraanku. Aku menuju pusat perbelanjaan yang tadinya tidak ada di tujuan berkelana. Sudah dua kali aku berjalan ke pusat perbelanjaan sendiri belakangan ini, bukan hal yang ingin aku lakukan. Sepi sekali rasanya berjalan sendiri. Sering harap itu muncul, harapan untuk ditemani. Tapi tidak kuutarakan dengan jelas, hanya tersirat.
Aku menikmati perjalanan sore dan malam ini, berkendara ke sana ke mari, berjalan ke sana ke sini
Menyelami diri hingga berakhir pada satu titik ikhlas dan pasrah
Ketika kaki kananku melangkah memasuki rumahmu di waktu Maghrib
"Assalamualaikum, ya Tuhanku, izinkan aku mengadu kepadamu," ucapku dalam hati. Tidak biasanya aku langsung berdialog ketika memasuki rumah ibadah. Biasanya aku mulai berdialog setelah melakukan ritual syukur. Dialog dalam bentuk doa di akhir salat. Dan salat bagiku adalah sarana bersyukur, lebih dari kewajiban dan ibadah untuk mencari pahala. Aku bersyukur bahwa aku masih diberikan banyak kenikmatan hingga detik di mana aku masih bisa melaksanakan salat tersebut.
Usai mengadu kepada Tuhanku, aku berjalan ke supermarket. Saat mengantre pembayaran, Tuhanku tiba-tiba memberikan keikhlasan padaku. Aku langsung bisa memberikan apa yang diminta. Usai keteguhan pendirianku untuk tidak memberikan apa yang diminta sebelumnya. Pada akhirnya aku ikhlas dan berpasrah, "bahwa itu bukanlah rezeki dan bukanlah hakku. Jadi, mengapa aku harus menahannya?" Kurang lebih pikiran itu terlintas bersamaan dengan keikhlasan hati. "Apa yang aku lakukan dengan harapan untuk kebaikannya di masa depan, tetapi itu hanya menurutku dan apa hakku atas uang itu? Pemiliknya lebih berhak." Maka, aku serahkan sebagian, karena sebagiannya lagi harusku pindahkan dulu dari bank satu ke lainnya melalui ATM, baru ke dompet digital. Usai pembayaran di kasir, niatnya ingin aku kirimkan sisanya. Namun, takdir berkata lain. Uangnya kembali padaku.
Selesai bayar, aku ke luar dan hingga pukul 22, aku masih berkendara sambil mendengarkan lagu. Menyusuri jalanan malam, Bintaro, Tanah Kusir, Gandaria, Blok M, Melawai, Senopati, Pasar Santa. Mataku lebih menangkap suasananya, ada kedai ini di sini, ada kedai itu di situ, dan sebagainya. Entah karena keheningan atau karena aku sedang menyelami diri menikmati kondisi malam. Semakin malam, jalanan semakin sepi. Kondisinya juga sedang hari raya. Sesekali aku melihat spion, khawatir dibuntuti. Ada juga pikiran takut ditabrak orang yang lagi tinggi saat melintasi Senoparty, namun kembali teringat bahwa hari ini masih hari raya. Ada juga kekhawatiran takut dihipnotis saat berjalan di mall sendirian, karena dulu pernah baca utas tentang hipnotis di G*ncy saat seseorang sedang berjalan sendiri. Pada akhirnya, semua itu hanyalah kekhawatiranku dan aku tetap berjalan sendiri. Sepertinya aku harus terbiasa sendiri.
Apa yang aku lakukan memanglah tidak baik dan menyakitkan. Namun, apa yang aku berikan penuh dengan harapan dan pemikiran untuk membuatmu menjadi lebih baik di masa depan. Jika memang apa yang aku berikan tidak berarti baik bagimu, maka, aku tidak akan memaksamu untuk menerima permintaan-permintaan dan pemberian-pemberianku. Cukup bagiku berusaha, tetapi tidak baik jika aku memaksa.
Kamu di masa depan mungkin juga akan membenciku.
Langganan:
Postingan (Atom)