Jumat, 30 Juni 2017

Dua Orang Asing

"Mereka hanyalah dua orang asing yang tak saling mengenal. Kebetulan bertemu di suatu titik tempat, pada suatu titik waktu; masing-masing menggenggam ujung seutas benang merah." (Efendi, 2012)
Tokoh lelaki   : Saadi (kebahagiaanku) --> tapi akhirnya gak disebutin namanya, karena gak tau juga namanya siapa
Tokoh wanita : Shula (bercahaya)
                          Ibu Rini
Sumber : http://www.zianka.id/awalan-huruf/20/

Namaku Shula tapi aku biasa dipanggil Ula, aku seorang gadis dengan rambut ikal sepinggang, berwarna hitam, dan biasa dikuncir kuda; kulitku putih; tinggiku 158 cm; dan beratku 50 kg. Saat ini aku terduduk di sebuah rumah sakit daerah Jakarta Selatan menemani seorang wanita paruh baya-- ibuku. Hari ini ibu kontrol gipsum ke dokter karena bagian stiloid process of ulna-nya retak dan hari ini merupakan jadwal kontrolnya ibu karena sudah 7 hari sejak gipsum terpasang.

Sumber : http://kliksma.com/2015/07/pengertian-tulang-karpal.html

Rumah sakit ini terdiri atas satu lantai saja. Saat masuk akan disuguhi dengan mesin untuk mengambil nomor antrean. Seorang satpam mengambilkannya dan kuterima. Ibuku dapat nomor A0079 dan saat ini di layar antrean menunjukan nomor A0075. Alur pemeriksaan di rumah sakit ini memang melalui beberapa tahap, yaitu tahap 1 berupa administrasi atau pengumpulan berkas, tahap 2 merupakan tahap pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah dan berat badan), tahap 3 merupakan tahap pemeriksaan, tahap 4 berupa verifikasi berkas, dan tahap 5 atau terakhir berupa pengambilan obat.

Saat ini kita berada di tahap 1. A0059... Ibuku pun mengeluarkan berkas-berkasnya dari dalam tas. A0060... Ibuku berjalan menuju loket untuk menyerahkan berkas-berkas tersebut ke seorang wanita penjaga loket 1. Berkas yang berisi fotokopi KK, KTP, kartu BPJS, dan surat rujukan dari dokter sebelumnya. Berkas itu diserahkan dan ditukar dengan berkas lain setelah diproses. Ibuku membawa berkas dari loket untuk diserahkan ke tahap 2, yaitu pemeriksaan tanda-tanda vital. Ibuku menaruh di meja tahap 2. Seorang perawat lalu memanggil nama ibuku, lalu dilakukan tensi dan menimbang badan.

Tahap selanjutnya merupakan tahap pemeriksaan. Jam praktik dokter spesialis orthopedi dimulai dari habis maghrib atau kadang ngaret. Saat ini waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. "Salat dulu yuk," ajak Ibu. "Iya," aku menjawab sambil mengangguk. Lalu, kita salat Ashar dan setelah itu waktu menunggu kita habiskan di mushalla, Ibuku tidur dan pahaku dijadikan bantalnya. Aku hanya memain-mainkan handphoneku, membalas whatsapp adikku. Sesekali ku foto Ibu yang sedang tertidur dan kukirim ke adikku, fotonya aib.

Waktu telah menunjukan pukul 17.38 WIB. Adzan Maghrib 7 menit lagi akan berkumandang dan ibuku pun telah terbangun. Kami bersiap-siap menuju depan mushalla karena disitu ada ta'jil gratis. Adzan pun berkumandang dan kami semua membaca doa bersama-sama lalu berbuka. Setelah itu dilanjutkan dengan salat maghrib.

Usai salat maghrib, aku dan ibuku menuju ruang tunggu. 1 jam berlalu... Hingga, "IBU RINI!" teriak seorang perawat dari dalam ruang praktik dokter. Ibuku pun masuk ke dalam. Dokter menyambut dengan bermain handphone, lalu 2 menit kemudian setelah kuintip dia membuka instagram, handphonenya ditaruh. "Gimana Bu?" dokter itu melihat sambil mengambil lengan ibuku yang di gipsum. Ibuku menjawab dengan keluhan, "ribet Dok, dilepas sekarang bisa gak Dok?" sambil meringis. Tidak menggubris permintaan ibuku, dokter tersebut menyampaikan kepadaku bahwa saat akan di gipsum kemarin, ibuku rewel dan ketakutan. "14 hari lagi ya Bu," lanjutnya, "ini Bu, obatnya diambil di farmasi," sambil menyerahkan sehelai kertas resep untuk diserahkan ke tahap 5 dan beberapa helai berkas lainnya untuk diserahkan ke tahap 4.

Kami lalu keluar ruangan dan menyerahkan berkas ke tahap 4. Berkas tersebut diberikan ke staff verifikator untuk diperiksa kelengkapannya. Seorang pria menerima berkas yang ku serahkan dengan senyum. Aku tidak membalas senyumnya. Saat itu, aku sedang berada dalam mood yang buruk karena perlakuan dokter barusan. Bagaimana bisa pasien tidak disambut dengan senyum tapi malah disambut dengan main handphone? Paling tidak, walaupun tidak tersenyum, tidak usah main handphone jika tidak perlu. Aku ngedumel dalam hati.

Staff verifikator itu memeriksa lembar demi lembar. Lalu, dilingkari beberapa poin. "Iya, Ibu nanti kembali lagi ke sini tanggal 20 Juni 2017," katanya sambil melingkari poin tersebut. Aku melihatnya yang sedang menunduk dan aku merasa staff ini mirip dengan seseorang yang ku kenal. Dia mirip dirinya... Seseorang dari kota Apel.

Dia melingkari sambil tersenyum. Rambutnya basah. Kulitnya putih. Tingginya sekitar 170-175an cm. Apakah dia baru datang? Kelihatannya masih semangat melayani. Lalu, dia berkata "iya, sudah lengkap, selanjutnya obatnya dapat diambil disitu," sambil mengarahkan tangan ke ruang farmasi dan menutup dengan senyum. Aku ingin membalas senyumnya, namun ia telah melihat ke arah lain. Akhirnya, aku hanya mengangguk lalu menuju tahap 5, farmasi. Ibuku menaruh resepnya di kotak. Lalu, kita menunggu dipanggil.

Aku ingin membalas senyumnya... Tapi sudah terlambat. Kenapa tadi aku jutek banget? Gerutuku dalam hati. Aku duduk di bangku tunggu farmasi sambil terus melihat ke arahnya. Dia sibuk. Bibirku seakan memintaku untuk tersenyum hingga aku menggigit bibirku agar tidak senyum-senyum seenaknya. Sesekali dia melihat ke arahku, tapi aku membuang mukaku. Rasanya pipiku panas.

"IBU RINI" petugas farmasi memanggil nama ibuku. Kami berdiri dan mengambil obat yang diberikan. Lalu, pulang. Pertemuan hari ini hanya sampai disini.

__________________________________________________________________________________

14 hari telah berlalu. Hari ini jadwal ibuku buka gipsum. Aku kembali ke rumah sakit ini. Seperti biasa, aku dan ibuku disambut oleh satpam dan diberikan nomor antrean. A0089. Sepertinya hari ini ramai. Nomor di layar antrean masih menunjukan angka A0065. Masih jauh nomornya. Lalu, saat mataku langsung mencari dirimu di bagian verifikator. Hasilnya nihil. Staff yang bertugas disitu seorang wanita dan seorang pria, tapi bukan orang itu.

Jam telah menunjukan pukul 16.00 WIB dan karena nomor antreannya juga masih jauh, akhirnya ibuku memutuskan untuk salat ashar dahulu. Aku pun telah pasrah dengan usaha mataku untuk mencari dirinya. Aku mengikuti ibuku yang berjalan menuju mushalla.

Di mushalla ibu salat duluan lalu  setelah itu aku yang salat dan ibu gantian menjaga barang. Aku duduk sambil sesekali melihat handphone, entah apa yang kukerjakan dengan handphoneku. Lalu kutaruh, aku melamun. Lalu, seorang laki-laki masuk. Orang yang kucari itu masuk! Padahal aku sudah mengikhlaskannya.

Aku merasa retinaku melebar saat melihat dia. Dia masuk namun aku tidak bisa apa-apa. Dia mau wudhu, tapi dia mengobrol dahulu dengan beberapa orang temannya. Aku mendengarkan percakapannya, tapi aku tidak membalik badanku ataupun menoleh. Beberapa hal yang aku dengar, yaitu, "iya mudik, ke Sukabumi". Dapat ditarik kesimpulan, dia akan mudik dan mudiknya ke Sukabumi.

Kepalaku langsung terasa pusing. Sukabumi berarti dia orang Sunda. Sudah lelah, ibuku maunya orang Jawa. Belakangan ini aku terlalu lelah memikirkan kriteria permintaan ibu. Pusing. Hingga otaku memutuskan “ah orang cuma suka doang” dan aku rasa memang hanya seperti itu dan tidak akan sampai memiliki hubungan cinta.

Setelah wudhu, ia qamat. Di sebelahnya ada seorang lelaki, setelah qamat ia mempersilahkan lelaki itu untuk jadi imam. Namun, lelaki itu menolak dan menyuruh dia maju. Akhirnya, dia yang maju. Hal ini membuatku ingin tertawa disaat habis pusing.

Dia menjadi imam, suaranya lembut dan halus. Lalu, saat ibuku sudah selesai salatnya, dia masih menjadi imam. Aku berwudhu dan salat menjadi makmumnya. Setelah selesai salat, aku dan ibu langsung kembali ke ruang tunggu.

Nomor ibuku belum dipanggil. Saat ini masih A0080, syukurlah. A0081, A0082, A0083, ..., A0088. Aku dan ibuku mengeluarkan berkasnya. A0089. Ibuku menuju loket 1 untuk memberikan berkasnya. Lalu, seperti sebelumnya. Selanjutnya ibuku ke tahap 2, yaitu pemeriksaan tanda-tanda vital. Setelah beberapa orang, akhirnya ibuku dipanggil juga. Ibuku ditensi dan ditimbang. "Normal, 120/80," kata ibu sambil duduk di sampingku setelah diperiksa.

"La, tidur ke mushalla yuk," ibu mengajakku setelah beberapa saat duduk di ruang tunggu, "tangan Ibu pegel kalau kaya gini terus," sambil menunjukan tangannya yang menggantung, "pengennya kaya gini," menaruh tangannya di pahaku lurus dan tertopang. "Tapi kalau di pahamu gak enak, mama maunya sejajar, kalau disitu turun ke bawah, gak enak," lanjutnya. "Iya ayok," jawabku.

Mushalla masih lumayan ramai. Lalu kemudian sepi. Aku duduk meluruskan kaki dan ibu tidur di pahaku seperti sebelumnya. Aku lalu membaca novel yang kubawa hingga maghrib mau berkumandang. Ibuku lalu bangun.

Kami keluar mushalla dan buka menggunakan ta'jil dari rumah sakit. Setelah itu siap-siap salat maghrib, ibuku dulu yang wudhu lalu aku. Kali ini kita salatnya bareng dan barang ditaruh di depan ibuku. Dan lihat, siapa yang masuk? Lelaki itu.

Lelaki itu berwudhu dan kembali menjadi imam. Aku menjadi jamaahnya lagi. Karena salat maghrib merupakan salat yang dilakukan di malam hari. Jadi, surah-surahnya harus dibaca. Subhanallah :). Hatiku meleleh. Dia memang tidak menggunakan nada-nada, tetapi bacaannya terdengar lembut di telinga dan di hati. Aih. "Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan?" batinku.

Setelah salat, Ula dan ibu kembali ke ruang tunggu. Saat ini kita menunggu tahap 3, yaitu pemeriksaan dokter. Baterai handphoneku lemah dan aku mencari tempat duduk yang dekat dengan stop kontak. Setengah jam berlalu... Ibu masih duduk di sebelahku sambil mengobrol tentang apapun itu. Lalu, lelaki itu berjalan ke depan, ke bagian loket dan ruang verifikator. Lalu, kembali lagi.

Bateraiku sudah lumayan penuh, akhirnya aku dan ibuku pindah tempat duduk ke yang lebih dekat dengan ruang dokter agar saat dipanggil terdengar. Di tempat duduk ini terlihat langsung loket-loket dan ruang verifikasi. Lelaki itu kembali lagi ke depan. Lalu balik ke belakang. Saat ini, arahnya ke arahku dan aku duduk ke arahnya, karena memang jalannya seperti itu. Aku melihatnya dan tersenyum. Dia balas tersenyum. Aku ingin melanjutkan senyumku, tapi ibuku yang sedang berbicara di sebelahku tiba-tiba berhenti dan sepertinya mengerutkan dahi melihatku lalu melihat lelaki itu. Argh. Terpaksa aku membuang mukaku ke arah lain. Lalu, aku menjawab obrolan ibuku.

Sekitar pukul 21.00, lelaki itu kembali lagi ke depan. Aku melihat punggungnya berjalan ke arah loket. Lalu, dia kembali lagi ke belakang. Aku tidak berani melihatnya lagi seperti tadi karena... disebelahku ada ibu. Aku hanya menunduk, melihat sepatumu. Warnanya hitam sepatunya. Kamu berjalan balik sambil memegang handphone. Lalu aku menegakan mukaku saat kamu sudah lewat. Sungguh, rasanya sangat tidak enak. Ini namanya benar-benar menahan pandangan. Tapi bukan karena kesadaran iman, tapi kesadaran ada ibu.

Sekitar jam 22.30 ibu dipanggil. "IBU RINI!" panggil perawat yang sama seperti saat kontrol. Ibu dan aku pun masuk. Sama seperti sebelumnya, dokter menyambut kami dengan bermain handphone. Hormatku pun hilang seluruhnya, sungguh, tidak ada wibawanya orang ini di depanku. Lalu, handphonenya ditaruh.

Ibuku mulai dibuka gipsumnya. Tangan ibuku gemetar saat gipsum sudah terlepas seluruhnya. Seperti tangan yang tidak hidup atau bisa dibilang seperti tangan yang habis lumpuh (?) Intinya bergetar dan ibuku merasa nyeri karena punggung telapak tangannya masih bengkak. Setelah beberapa saat aku baru tersadar, bergetarnya tangan ibuku karena aliran darah kembali lancar. Saat di gipsum tentu tangan akan terasa terhimpit dan darah tidak bisa mengalir seperti biasanya. Sehingga menyebabkan pembengkakan juga di telapak.

Dokter mengatakan, "gapapa, lalu memencet-mencet tangan ibu tanpa belas kasih padahal ibuku berteriak sakit". Saat itu aku merasa jadi tambah panas rasanya, tapi, saat menulis ini aku sudah mendengar kabar baik dari ibuku, katanya, "setelah dipencet juga sakitnya ilang dan jadi agak kempesan bengkaknya". Saat di farmasi ibuku mengatakan ini, jadi aku tidak akan melampiaskan emosiku di paragraf ini.

Selanjutnya, ibuku dirujuk ke fisioterapi. Jadi, ini bukan hari terakhir ke rumah sakit ini. Karena hari sudah terlalu larut. Jadi aku dan ibu tidak ke tahap 4, melainkan langsung ke tahap 5. Sepertinya dia sudah pulang karena saat aku melihat ruang verifikator sudah kosong dan bertuliskan tutup. Sepertinya dia bekerja dari pukul 06.00-21.00 WIB. Sekarang sudah pukul 23.00 WIB disini. Lalu, aku dan ibu ke tahap 5, menaruh resep ke kotak dan menunggu dipanggil. Setelah beberapa menit, akhirnya dipanggil dan kami pun pulang.

Terasa seperti pertemuan terakhir, tapi hari ini membahagiakan. Senang bisa memberimu senyum, dan senang bisa mendapat senyum darimu. :)

_________________________________________________________________________________

Selama fisioterapi aku sudah tidak pernah bertemu dengan lelaki itu lagi. Sepertinya masih di kampung. Sepertinya tidak akan ketemu lagi.

_________________________________________________________________________________

P.S. : Ada momen dimana ada tarik-menarik yang tidak nyata. Tapi, yaudah nikmati saja saat itu dan saat-saat bahagianya. Kepikiran pasti, tapi coba buat mengikhlaskan momen-momen seperti itu lebih baik daripada dipikirkan dan diharapkan terus-menerus.

Pada akhirnya, kita hanyalah dua orang asing.
__________________________________________________________________________________

Sebentar lagi ada yang komen "kamu gampang banget suka sama orang". Udah tau komentarnya mas.

June 30th, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar